Aku belajar bahwa selalu ada pilihan untuk membiarkan pintu gerbang depan rumah terbuka. Dengan terbukanya pintu itu, sesiapa yang lewat boleh saja masuk dan langsung mengetuk pintu rumah. Dengan pintu terbuka, semua orang yang sedang lewat depan rumah atau sengaja menuju ke rumah untuk bertamu akan merasa disambut. Dengan kata lain, orang yang tiba di depan rumah tidak akan merasa kesulitan untuk segera masuk dan mengetuk pintu rumah.
Sebaliknya, ada pula pilihan untuk selalu menutup pintu gerbang. Bolehlah keamanan menjadi alasan. Boleh pula demi mencegah kucing atau hewan lain mampir ke halaman rumah. Apapun alasannya, pintu gerbang yang tertutup membuat orang yang ingin bertamu perlu mencari tombol bel di dekat gerbang, atau mencari kait gerbangnya untuk dibuka sendiri, atau mengetuk besi agar terdengar oleh pemilik rumah. Pintu gerbang yang tertutup mungkin membuat orang yang kebetulan lewat di depan rumah berpikir bahwa penghuni rumahnya sedang pergi. Mungkin pula orang yang kebetulan lewat dan ingin mampir jadi mengurungkan niatnya karena harus membayangkan kerepotan melewati pintu gerbang tertutup itu sebelum harus mengetuk pintu rumahnya. Namun bagi orang yang khusus mendatangi rumah itu untuk bertamu, pintu gerbang yang tertutup tidak akan mengurungkan niatnya untuk bertamu. Dia akan melewati gerbang itu baik dengan cara memencet tombol, membukanya sendiri setelah mengecek keadaannya yang tidak digembok, atau mengetuk sampai dibukakan.
Jadi pilihan itu ada di tanganmu, untuk membiarkan pintu gerbang terbuka, atau menutupnya dan hanya membuka saat ada orang yang minta dibukakan.
Hidup itu pilihan. Yang tidak bisa dipilih itu menjalani konsekuensinya. Semua pilihan datang sepaket dengan konsekuensinya. Pintu gerbang terbuka punya risiko sendiri, keuntungannya pun banyak. Pintu gerbang tertutup berisiko menyulitkan tapi cukup aman bagi sebagian orang.
Mungkin sementara ini aku akan menutup kembali pintu gerbangku yang beberapa waktu ini sengaja kubuka. Mungkin aku akan menutupnya dalam waktu lama. Mungkin aku harus memasang bel di situ agar tidak perlu melewatkan tamu yang kesulitan membuka sendiri gerbangku itu.
Ditulis tanpa air mata, setelah patah hati pada seorang bermata cemerlang (jaga-jaga jika aku lupa ini tentang siapa).