Beberapa puluh posting di blog ini konsisten isinya mengeluh ya, hehe. Belakangan saya sedikit paham ternyata tema keluhan itu mungkin terkait dengan betapa otak ini butuh dopamin melebihi yang hidup saya bisa berikan. Nah, plot twist terkini ini lumayan memberi umpan dopamin, setidaknya sampai detik saya menulis ini. Sekitar setahun yang lalu ada peristiwa pemicu yang lumayan mengubah arah hidup saya hari ini. Lumayan, tidak ekstrim sih, toh saya masih gini-gini aja.
Tahun 2022 ini saya dipaksa mengevaluasi hidup satu dekade terakhir. Saat ini saya sedang dalam periode merangkum 10 tahun saya dalam beberapa kalimat saja. “Rangkuman hidup” ini lumayan urgen; saya harus menuliskannya dalam daftar riwayat hidup dan mempertanggungjawabkannya saat wawancara dengan panelis. Kenapa 10 tahun terakhir saja? Karena, menurut saya, nasib seorang dokter ditentukan sejak dia berusia 25-26 tahun, yaitu setelah lulus dan disumpahin sebagai dokter, dan sedikit periode setelahnya. Apa lagi yang bisa diandalkan untuk refleksi selain catatan pribadi dan teman-teman lama? Milenial yang menggunakan medsos mudah saja membongkar posting lama untuk “menemukan dirinya yang dulu.” Kayaknya repot banget ya, harus refleksi segala, bikin CV doang? Iya nih, karena dengan kacamata orang awam dan normal, CV saya 10 tahun terakhir kurang membanggakan, setidaknya versi saya.
Beberapa kali saya menemukan posting sendiri di masa lalu, dibantu oleh arsip story instagram, yang diwarnai kesuraman. Terlepas bahwa kadang jiwa INFP yang agak terlalu melankolis ini menguar, lumayan juga kegelapan di beberapa tulisan saya. Eh tapi saya ini xNTP lho ya bukan INFP, cuma kadang offside aja. Sangat xNTP sekali, konsisten dalam hal mudah terdistraksi, bertanya hal tidak penting, dan malas membahas perasaan atau manusia.
Seorang teman baik mengingatkan bahwa kita perlu mampu merangkum atau menceritakan kembali kisah hidup dengan kacamata yang lebih jernih, objektif, dan introspektif. Tidak harus sih, ini dalam rangka saya menyusun CV yang melibatkan masa lalu dan segala muatan beban di dalamnya, dan memperkenalkan diri saya ke sekelompok orang asing. Sudah bukan jamannya menggunakan kalimat yang mengandung mentalitas sebagai korban. Buku dan sumber informasi tentang kesadaran (self-awareness) sudah banyak yang mengajarkan tentang pentingnya mengambil tanggung jawab atas hidup kita, walaupun banyak kemalangan yang tidak terhindarkan. Sangat menggoda untuk merangkum 10 tahun terakhir hidup saya dengan “Peristiwa A dan B menimpa saya, akibatnya saat ini saya masih gini-gini aja.” Melihat dengan kacamata lain, ternyata kalimat tadi terdengar victimized; menjadi korban. Namun mengambil dan memakai kacamata “bijak” dan “objektif” berat dilakukan saat suasana hati masih depresi, sedih, dan tidak merasa berharga atau berguna. Rasanya tidak ada tenaga tersisa untuk itu. Rasanya kacamata yang terpasang ini sudah paling benar: benar bahwa aku hanya korban dari takdir yang “kurang ideal” ini, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menyikapinya.
Suasana hati depresi dan tidak berdaya itu penting sekali untuk diatasi agar dapat menjalani fitrah sebagai manusia yang bahagia (iya, benar, fitrah manusia adalah makhluk yang berbahagia). Hidup tidak sesuai fitrah ternyata sangat boros energi, kurang alamiah, melelahkan sekali… Beberapa bulan, beberapa tahun, saya habiskan untuk (yang disebut gen Z saat ini sebagai) healing. Sampai hari ini pun saya belum benar-benar healed, sih. Setidaknya, saya sudah merasakan bedanya, bahwa akhir-akhir ini saya lebih berdaya; saya punya pilihan untuk mengambil sikap apa atas apapun yang menimpa saya. Jika ditanya apa titik baliknya, mungkin paling aman memang mengutip meme kondang itu, “I am sick and tired of being sick and tired.” Dulu saya pikir kanal yutub si ini atau itu yang membantu saya bersemangat menyembuhkan luka batin. Saya juga sempat menduga mungkin hobi membaca saya lumayan membantu ketika saya berjodoh dengan buku-buku yang sangat mengena, membuat saya mengangguk-angguk saat membacanya, menangis, mimpi buruk, sampai membuat saya mengubah perilaku. Tapi mungkin memang diperlukan banyak hal pendukung untuk membangkitkan semangat mengumpulkan serakan puing, pelan-pelan membangun diri dan hidup yang kurang tertata. Mungkin peran terbesar ada di sistem dukungan. Penting sekali mengelilingi diri dengan teman-teman yang mendukung dan membantu melihat dengan jernih. Lebih penting lagi didampingi oleh orang yang mencintai kita dengan tulus; menerima kita apa adanya. Serunya, orang itu boleh saja diri kita sendiri. Mengutip psikolog Amrik, mbak Nicole LePera, “We can heal ourselves. We are self-healers.” Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah.
Lantas, bagaimana merangkum 10 tahun terakhir hidup saya? Dengan kacamata “manusia berdaya” (empowered individual), kira-kira begini:
Saya lulus dokter tahun 2010, mendaftar sebagai CPNS dosen di kampus tempat saya belajar, dan diterima di tahun yang sama. Saya melanjutkan sekolah master, berkesempatan riset di negara maju, dan pulang di awal tahun 2013. Tiga tahun berikutnya prioritas saya agak terganggu saat ortu sakit. Saya mengakui kegagapan saya mengatur waktu dalam menyikapi kesibukan sebagai dosen, dokter jaga IGD, dan mahasiswa S2 yang harus menyelesaikan thesis agar segera lulus. Di tahun 2015 hingga awal tahun 2016 saya menyadari bahwa saya tidak bisa selamanya merasa cemas dan menghindari pilihan hidup saya, maka saya menyelesaikan thesis di awal tahun 2016. Saya belajar bahwa kemampuan manajemen waktu dan penentuan prioritas sangat penting. Saya juga belajar bahwa segala hal untuk dapat selesai harus dibagi menjadi target kecil agar lebih mungkin tercapai dan tidak menjadi beban di kemudian hari.
Setelah tahun 2016 saya aktif mengajar sebagai dosen, beberapa kali aktif membimbing mahasiswa mengikuti lomba-lomba di tingkat nasional maupun internasional, namun tidak melanjutkan praktek sebagai dokter umum IGD. Kegiatan utama saya selain sebagai pendidik di kampus adalah merawat orang tua yaitu ayah yang sakit di rumah, hingga di akhir 2018 ayah saya meninggal. Sepanjang 2019 saya merencanakan untuk sekolah namun belum berjodoh, demikian pula tahun 2020. Saat pandemi diumumkan di awal 2020, saya menjadi relawan di lab Covid di RS universitas tempat saya bekerja. Hal ini berlangsung hingga 2021. Sejak 2021 saya merasa perlu untuk segera kembali fokus dengan tugas utama dosen selain tri darma yaitu pengembangan diri dengan sekolah lagi. Prodi pilihan ini memang sudah menjadi minat saya walau kurang tercermin dari kegiatan saya sebagai dokter sejak lulus. Saya menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang, yang membutuhkan kontak sosial cukup intens dengan empati dan kontrak jangka panjang. Saya juga cukup tekun menganalisis, memecahkan masalah, dan memutuskan sesuatu bahkan dalam krisis. Saya suka bekerja dengan tangan yang membutuhkan kemampuan motorik halus. Dengan kesempatan belajar di prodi ini saya akan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, yang saya yakin akan dapat membantu masyarakat lebih luas dan meningkatkan kualitas pelayanan maupun pendidikan di universitas tempat saya bekerja.
Demikian gladi resik jawaban wawancara untuk saya hapalkan dan pergunakan semestinya. Good luck, me!