Mengumpulkan Puing dan Membangun Kembali

Beberapa puluh posting di blog ini konsisten isinya mengeluh ya, hehe. Belakangan saya sedikit paham ternyata tema keluhan itu mungkin terkait dengan betapa otak ini butuh dopamin melebihi yang hidup saya bisa berikan. Nah, plot twist terkini ini lumayan memberi umpan dopamin, setidaknya sampai detik saya menulis ini. Sekitar setahun yang lalu ada peristiwa pemicu yang lumayan mengubah arah hidup saya hari ini. Lumayan, tidak ekstrim sih, toh saya masih gini-gini aja.

Tahun 2022 ini saya dipaksa mengevaluasi hidup satu dekade terakhir. Saat ini saya sedang dalam periode merangkum 10 tahun saya dalam beberapa kalimat saja. “Rangkuman hidup” ini lumayan urgen; saya harus menuliskannya dalam daftar riwayat hidup dan mempertanggungjawabkannya saat wawancara dengan panelis. Kenapa 10 tahun terakhir saja? Karena, menurut saya, nasib seorang dokter ditentukan sejak dia berusia 25-26 tahun, yaitu setelah lulus dan disumpahin sebagai dokter, dan sedikit periode setelahnya. Apa lagi yang bisa diandalkan untuk refleksi selain catatan pribadi dan teman-teman lama? Milenial yang menggunakan medsos mudah saja membongkar posting lama untuk “menemukan dirinya yang dulu.” Kayaknya repot banget ya, harus refleksi segala, bikin CV doang? Iya nih, karena dengan kacamata orang awam dan normal, CV saya 10 tahun terakhir kurang membanggakan, setidaknya versi saya.

Beberapa kali saya menemukan posting sendiri di masa lalu, dibantu oleh arsip story instagram, yang diwarnai kesuraman. Terlepas bahwa kadang jiwa INFP yang agak terlalu melankolis ini menguar, lumayan juga kegelapan di beberapa tulisan saya. Eh tapi saya ini xNTP lho ya bukan INFP, cuma kadang offside aja. Sangat xNTP sekali, konsisten dalam hal mudah terdistraksi, bertanya hal tidak penting, dan malas membahas perasaan atau manusia.

Seorang teman baik mengingatkan bahwa kita perlu mampu merangkum atau menceritakan kembali kisah hidup dengan kacamata yang lebih jernih, objektif, dan introspektif. Tidak harus sih, ini dalam rangka saya menyusun CV yang melibatkan masa lalu dan segala muatan beban di dalamnya, dan memperkenalkan diri saya ke sekelompok orang asing. Sudah bukan jamannya menggunakan kalimat yang mengandung mentalitas sebagai korban. Buku dan sumber informasi tentang kesadaran (self-awareness) sudah banyak yang mengajarkan tentang pentingnya mengambil tanggung jawab atas hidup kita, walaupun banyak kemalangan yang tidak terhindarkan. Sangat menggoda untuk merangkum 10 tahun terakhir hidup saya dengan “Peristiwa A dan B menimpa saya, akibatnya saat ini saya masih gini-gini aja.” Melihat dengan kacamata lain, ternyata kalimat tadi terdengar victimized; menjadi korban. Namun mengambil dan memakai kacamata “bijak” dan “objektif” berat dilakukan saat suasana hati masih depresi, sedih, dan tidak merasa berharga atau berguna. Rasanya tidak ada tenaga tersisa untuk itu. Rasanya kacamata yang terpasang ini sudah paling benar: benar bahwa aku hanya korban dari takdir yang “kurang ideal” ini, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menyikapinya.

Suasana hati depresi dan tidak berdaya itu penting sekali untuk diatasi agar dapat menjalani fitrah sebagai manusia yang bahagia (iya, benar, fitrah manusia adalah makhluk yang berbahagia). Hidup tidak sesuai fitrah ternyata sangat boros energi, kurang alamiah, melelahkan sekali… Beberapa bulan, beberapa tahun, saya habiskan untuk (yang disebut gen Z saat ini sebagai) healing. Sampai hari ini pun saya belum benar-benar healed, sih. Setidaknya, saya sudah merasakan bedanya, bahwa akhir-akhir ini saya lebih berdaya; saya punya pilihan untuk mengambil sikap apa atas apapun yang menimpa saya. Jika ditanya apa titik baliknya, mungkin paling aman memang mengutip meme kondang itu, “I am sick and tired of being sick and tired.” Dulu saya pikir kanal yutub si ini atau itu yang membantu saya bersemangat menyembuhkan luka batin. Saya juga sempat menduga mungkin hobi membaca saya lumayan membantu ketika saya berjodoh dengan buku-buku yang sangat mengena, membuat saya mengangguk-angguk saat membacanya, menangis, mimpi buruk, sampai membuat saya mengubah perilaku. Tapi mungkin memang diperlukan banyak hal pendukung untuk membangkitkan semangat mengumpulkan serakan puing, pelan-pelan membangun diri dan hidup yang kurang tertata. Mungkin peran terbesar ada di sistem dukungan. Penting sekali mengelilingi diri dengan teman-teman yang mendukung dan membantu melihat dengan jernih. Lebih penting lagi didampingi oleh orang yang mencintai kita dengan tulus; menerima kita apa adanya. Serunya, orang itu boleh saja diri kita sendiri. Mengutip psikolog Amrik, mbak Nicole LePera, “We can heal ourselves. We are self-healers.” Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah.

Lantas, bagaimana merangkum 10 tahun terakhir hidup saya? Dengan kacamata “manusia berdaya” (empowered individual), kira-kira begini:

Saya lulus dokter tahun 2010, mendaftar sebagai CPNS dosen di kampus tempat saya belajar, dan diterima di tahun yang sama. Saya melanjutkan sekolah master, berkesempatan riset di negara maju, dan pulang di awal tahun 2013. Tiga tahun berikutnya prioritas saya agak terganggu saat ortu sakit. Saya mengakui kegagapan saya mengatur waktu dalam menyikapi kesibukan sebagai dosen, dokter jaga IGD, dan mahasiswa S2 yang harus menyelesaikan thesis agar segera lulus. Di tahun 2015 hingga awal tahun 2016 saya menyadari bahwa saya tidak bisa selamanya merasa cemas dan menghindari pilihan hidup saya, maka saya menyelesaikan thesis di awal tahun 2016. Saya belajar bahwa kemampuan manajemen waktu dan penentuan prioritas sangat penting. Saya juga belajar bahwa segala hal untuk dapat selesai harus dibagi menjadi target kecil agar lebih mungkin tercapai dan tidak menjadi beban di kemudian hari.

Setelah tahun 2016 saya aktif mengajar sebagai dosen, beberapa kali aktif membimbing mahasiswa mengikuti lomba-lomba di tingkat nasional maupun internasional, namun tidak melanjutkan praktek sebagai dokter umum IGD. Kegiatan utama saya selain sebagai pendidik di kampus adalah merawat orang tua yaitu ayah yang sakit di rumah, hingga di akhir 2018 ayah saya meninggal. Sepanjang 2019 saya merencanakan untuk sekolah namun belum berjodoh, demikian pula tahun 2020. Saat pandemi diumumkan di awal 2020, saya menjadi relawan di lab Covid di RS universitas tempat saya bekerja. Hal ini berlangsung hingga 2021. Sejak 2021 saya merasa perlu untuk segera kembali fokus dengan tugas utama dosen selain tri darma yaitu pengembangan diri dengan sekolah lagi. Prodi pilihan ini memang sudah menjadi minat saya walau kurang tercermin dari kegiatan saya sebagai dokter sejak lulus. Saya menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang, yang membutuhkan kontak sosial cukup intens dengan empati dan kontrak jangka panjang. Saya juga cukup tekun menganalisis, memecahkan masalah, dan memutuskan sesuatu bahkan dalam krisis. Saya suka bekerja dengan tangan yang membutuhkan kemampuan motorik halus. Dengan kesempatan belajar di prodi ini saya akan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, yang saya yakin akan dapat membantu masyarakat lebih luas dan meningkatkan kualitas pelayanan maupun pendidikan di universitas tempat saya bekerja.

Demikian gladi resik jawaban wawancara untuk saya hapalkan dan pergunakan semestinya. Good luck, me!

Board-like Muscles

Hamparan pasir keabuan terbentang selaksa karpet yang luas tak bertepi. Hangatnya mentari siang itu menyengat leher dan mengeringkan kerongkongan. Jam Garmin menunjukkan angka 11.40, dan telepon ketiga masih belum berbuah jemputan panitia.

***

Pagi itu kami berkumpul di rumah Pak Bambang, guru kami, untuk kemudian berangkat bersama ke selatan yang jauhnya 140 km dari rumah. Benar juga, akhir pekan yang panjang menjelang libur tahun baru China membuat jalanan padat merayap. Ditambah keinginan makan malam khas Jogja bernama Gudeg Wijilan, sampailah kami di penginapan tujuh jam sebelum pistol start ditembakkan (saat itu berharap ada pistol, jelas tidak akan ada).

Malam itu aku berbaring namun terjaga, menanti kabar dari salah satu anggota rombongan yang baru bertolak dari Semarang selepas matari terbenam. Sejam sebelum alarm kami semua berbunyi, orang yang kutunggu mengabari telah sampai dengan selamat, dan memutuskan berangkat bersama rombongan lain ke tempat start dan tidak mampir ke penginapan kami. Aku pulas sejam saja dan terpaksa bangun oleh ketukan Rizki di pintu kamar, “Bangun, bangun.”

Suasana garis start sangat gelap, karena subuh pun belum tiba. Lampu kepala berkilatan, warna-warni pakaian pelari berkilauan, satu dua wajah kukenal, sebagian adalah rombongan dari kotaku sendiri, sebagian lain adalah alumni SMA-ku dan seorang guruku di SMA, Ibu Ani. Sesaat sebelum start, kuputuskan berlari bersama mantan guru SMA-ku itu (mantan karena beliau sudah tidak mengajar), sampai sekuatku saja, karena rumornya beliau pelari hebat. Wanita 52 tahun ini terus berada di sebelahku sekitar 7 km pertama sejak start, menyusuri garis pantai, beradu dengan angin laut, bertolak di pasir gembur yang kadang terintrusi air laut.

Memang ada pepatah mengatakan “train hard, race easy” yang mungkin berarti rajinlah berlatih agar saat perlombaan lari kamu bisa menang (atau mencapai finish, atau membuat catatan waktu yang baik) dengan mudah. Namun ternyata tidak semudah itu. Ada faktor X, Y, dan Z yang mempengaruhi the easiness of the race, despite your training and preparations. Seperti pagi itu, ketika aku memutuskan melepaskan diri dari Bu Ani yang masih terus berlari dengan semangat “Ibu duluan saja deh Bu, maaf tidak ikut menemani,” dan memilih menunggu Rizki yang sedang kesakitan karena kram. Seorang teman pelari melewatiku sambil berkata bahwa Rizki sedang kram. Aku masih ingin berterima kasih padanya sampai tulisan ini dibuat, namun apa daya, aku lupa siapa orangnya.

Rizki akhirnya muncul juga, diikuti sepasang kekasih, Putri dan Zayin, yang juga rombonganku, sehingga kami melaju berempat, belum sempat lari karena turunan curam menghadang di depan. Kramnya tampaknya sudah surut, jadi Rizki memutuskan untuk terus melaju, sampai tiba-tiba harus berhenti karena kram datang lagi. Jalan setapak turun yang curam memang menuntut kontraksi otot betis dan sekitarnya, dan saat kram, semuanya akan memburuk. Saking sakitnya, kami berhenti beberapa menit dan dilewati beberapa pelari “Duluan aja Mas, Mbak, beneran gakpapa kok,” saat mereka menawari bantuan, walau aku sempat mengambil satu tube counterpain dari salah satu tawaran. Dua orang lain, Wahyu dan Yulian, memutuskan ikut berhenti sehingga kami berenam selama sejam berikutnya (beberapa menit kemudian kami sudah melaju lagi). Entah bagaimana, enam orang ini kemudian terpisah sehingga tinggal aku dan Rizki, empat lainnya di depan dan belakang kami. Mungkin Wahyu dan Yulian sudah bergabung dengan teman-teman mereka.

Sejam lebih yang menyiksa, karena pemandangannya indah, udaranya sejuk, jalanannya relatif datar dan tidak curam atau licin, tapi Rizki diam seribu bahasa. Sama saja lari sendiri, pikirku. Tapi berjam-jam setelahnya kusesali pikiran itu, karena kemudian aku menyadari dia sedang berjuang mencegah kramnya kambuh sambil berkonsentrasi dengan rute lari, dan mungkin menahan sakit tanpa mengeluh satu napas pun.

Pos minum terakhir yang tidak kunjung muncul akhirnya tampak juga, dan setelahnya terasa ringan (hore, lima kilo lagi sampai finish, mungkin jam sepuluh bisa nih), namun apa yang kemudian terjadi di medan pasir itu tidak terbayangkan sama sekali.

***

Entah karena terik yang semakin lugas menyapa kulit atau kilauan pasir di bawah telapak kaki, jalan menuju finish terasa tak berujung, ditambah kesunyian tanpa kata. Dendang lagu “Memulai Kembali” olehku hanya bertahan dua baris kemudian aku menyesali nada tinggi yang kuambil. Di hampir setiap turunan, aku mendahului Rizki, kemudian di akhir setiap turunan aku menengok ke belakang memastikan dia turun dengan aman, tanpa kram.

Turunan terakhir (karena setelah itu aku mengambil short cut sampai finish), aku meninggalkannya jauh di belakang (kok lama sih, pikirku) sampai terdengar teriakan kesakitan. Aku menoleh, dan kulihat Rizki berdiri membatu dengan kedua lutut menekuk dan posisi hampir rukuk, tampak sangat kesakitan, “Aaaaaarrgh.” Aku berlari mendekat, teriakan bertambah keras dan bernada tinggi. Tampak jelas kakinya menegang, sehingga aku semakin cemas. Aku segera mendekat dan berlutut, mengecek otot betisnya yang ternyata sekeras papan kayu. Oh tidak, pikirku. Bagaimana ini, aku harus apa, aku panik. Counterpain-ku menipis dan baru akan kukeluarkan dari kantong celana.

Beruntung sekali saat itu ada beberapa pelari lain di depan kami. Satu orang berbalik arah mendekati kami dan seperti memberi komando, “Tenang Mas, tenang, kalau panik nanti tambah kram. Tenang sekarang! Rileks Mas!!” Sepertinya Rizki patuh dan beberapa detik kemudian betisnya lebih lunak. Oh, aku sungguh lupa detil kejadian saat itu (atau aku supresi saking ngerinya), jadi aku lupa apakah hitungan detik atau menit sampai ‘papan kayu’ itu melunak. Yang jelas aku dan bapak pelari kurus baik hati itu membantu Rizki untuk duduk di pasir panas demi mengurangi kontraksi tungkai.

Beberapa detik berlalu dengan sangat lambat, namun anehnya aku lupa detilnya. Aku tidak ingat apa saja yang terjadi, apa saja usaha yang kulakukan saat itu selain mengangkat tinggi tungkai Rizki satu per satu dan mencoba dengan asal meniru gerakan fisioterapis saat membantu pelari dalam event lari Desember lalu. Lama sekali sampai akhirnya Putri dan Zayin muncul, “Tadi yang teriak itu kamu, Kak?” tanya Putri padaku.

Beberapa menit berikutnya sungguh tak terbayangkan. Kami berempat di tengah gurun pasir (yang ternyata masih 2 km lebih menuju finish, bukan 1 km seperti kata salah seorang pelari yang saat itu tentu saja belum finish) mencoba menahan panas dan berharap kram segera reda sehingga kami bisa segera berjalan bersama menuju finish. Counterpain sudah habis, pijatan sana sini sudah dilakukan, namun keluhan belum juga mereda.

Aku sempat meraih ponselku dan kutekan nomor Mas Wardana yang aku kuduga adalah ketua panitia event lari ini, melaporkan keadaan darurat dengan lokasi yang tidak akurat, dan memastikan dia mendengar kata-kata “butuh evakuasi” yang kuucapkan. Aku melirik Rizki mendengarku dan beberapa saat setelah itu dia tampak menerima kenyataan bahwa dirinya harus dievakuasi. Aku mensyukuri umur bateraiku yang masih panjang sehingga aku sempat menelepon beberapa orang lain termasuk Tri, anggota rombongan, dan Mas Willy, senior di sekolah yang di start sempat menyapaku, “Aku gak ikut lari, medis aja.”

Segelintir pelari Semarang mendekat, mereka ini temanku berlatih untuk event ini. Salah satunya bernama Mas Santosa memutuskan tinggal, dan beberapa kali aku berkata “Makasih ya Mas, for sticking with us,” yang selalu dijawabnya dengan semacam “Sudah kewajibanku.” Mas Santosa ikut menelepon sana sini, membantu dengan ransumnya, dan empati menyalahkan panitianya sungguh membuatku merasa lebih baik. Mas Santosa juga yang bersamaku berjalan menuju finish, “Ayu, we shall finish what we have started. Let’s finish this race.” 

Delapan puluh menit di bawah terik mentari membakar leher Zayin, menguras energi kami, mempercepat napasku sendiri, dan mungkin melenakan pikiran jernihku. Dari sekian banyak pilihan: 1. Menghentikan beberapa pelari untuk bersama mengangkat teman yang kram ke bawah pohon rindang terdekat, untuk dievakuasi, 2. Evaluasi rutin kram, jika sudah bisa berdiri dan berjalan pelan, dia bisa dibantu berjalan menuju pohon rindang terdekat untuk dievakuasi, 3. Konsul via telepon ke Pak Bambang yang sangat berpengalaman dalam kegawatdaruratan untuk langkah selanjutnya; tidak ada satu pun yang terlintas saat itu. Hanya Tuhan Yang Tahu mengapa kami memilih percaya pada jawaban Mas Wardana di seberang sambungan telepon, “Panitia akan segera datang menjemput.”

Delapan puluh menit itu diwarnai dengan beberapa teriakan Rizki, “Aduh! Sekarang kram betisnya, betis kanan, ah!” atau beberapa tempat lain seperti paha atau telapak kaki atau perut atau diafragma atau dada. Beberapa kali keluhan Putri, “Aaak, sakit perut,” dan banyak sekali pertanyaan dari kami semua, “Ini panitia mana sih?”

Ada satu masa di mana tiba-tiba Rizki tak bersuara. “Ki, bangun, bangun, jangan merem, plis” kataku. “Iya, iya.” jawabnya segera sambil berusaha melek. Beberapa saat yang lain dia sangat lancar berbicara, “Kakiku tolong diturunkan pelan-pelan, nah gitu, betisku tolong diurut dari proksimal ke distal,” atau “Siapa itu? Oh, fotografer itu ya?” saat aku menyapa seorang dari rombongan pelari Bandung yang melewati kami. Kadang aku heran dengan kejernihan pikirannya di saat genting seperti itu. Aku saja ingin mandi air sirup dingin saat itu juga, berharap dingin dan manisnya bisa membangunkan otakku. Episode-episode itu berlangsung acak dalam ingatanku saat aku menuliskannya kembali. Termasuk saat Putri menawari “Nih minum Pocari lagi, habisin,” yang dijawab Rizki, “Udah kembung Pocari,”

Di tengah teriakan kesakitannya, Rizki sempat berbicara tidak jelas, sepertinya memberi instruksi padaku soal letak kramnya, kemudian tiba-tiba, “Aduh, aku pelo. Aku pelo!” Tanpa aku menyadari arti pelo saat itu (mungkin karena saat itu aku mau pingsan, atau aku panik, tidak yakin yang mana), aku bertanya ke semua orang (yang cuma berlima termasuk aku), “Masih ada air? Siram ke wajahnya, sekarang.”

Masih belum puas, aku bertanya lagi, “Siapa punya madu? (Aku, Kak, jawab Putri) masukin ke mulutnya.”

“Lho Kak, tapi dia gak mau tadi.” jawab Putri yang dari tadi ditolak Pocarinya.

“Masukkan sekarang, anggap itu injeksi D40 tapi peroral.”

“Ini (pelo) apa,” kata Rizki sambil terus mengeja huruf r berkali-kali.

“Gakpapa, transien aja.” (atau aku mengucapkannya dalam hati? Duh, lupa.)

Beberapa menit berikutnya terasa lebih mencekam karena sempat terucap kata ‘pelo’ tadi. “Mas, airnya disiram ke wajahnya lagi,” perintahku yang sudah semakin terdengar bossy ke Mas Santosa. “Kamu bangun, Ki, jangan merem, bangun, ayo mikir habis ini mau ke IGD bedah atau penyakit dalam,” tanyaku demi membuatnya tetap terjaga. “Gak kok, udah gak perlu ke IGD,” jawabnya. Putri dan Zayin masih setia menaungi temannya yang kram itu dengan jaket parasutku yang disangga dengan lengan mereka, yang segera diganti dengan ponco tebal yang lebih lebar.

Di sela-sela kalimatku yang makin meracau, “Makasih ya, Putri, Zayin, sudah mau berhenti di sini, panas-panas, mungkin ini 40 derajat ya?” Mas Santosa bertanya serius mengapa Rizki bisa kram separah ini. “Mungkin kurang latihan ya,” gumamnya, yang segera kujawab, “Latihannya sempurna, Mas. Dia latihan HM (half-marathon) dengan pace 5 baik-baik aja tuh, gak ada keluhan, tapi tiap event kok gini. Kemarin Jakmar juga kan, Borobudur juga.” Rizki menanggapi bahwa dirinya sempat tersesat 3 km, dan bahwa dia yang bertugas menyetir. Tidak ada yang menjawab. Semua setuju, dan sudah sangat mengharapkan tim evak datang.

***

Evakuasi dilakukan setelah Rizki berdiri dan dipapah menuju motor, setelah berdebat apakah harus duduk miring seperti perempuan yang memakai rok, atau duduk melangkah. “Udah nyemplo aja,” kataku, yang dijawab panitia, “Nyemplo tuh apa, Mbak?”

Sepanjang jalan aku mengomel soal kepayahan panitia. Aku dan Mas Santosa menolak beberapa tawaran motor panitia, “Evakuasi ya Mas, Mbak?” walau aku tidak menolak dua botol minum dingin manis dari mereka. Beberapa kali aku meminta maaf pada Mas Santosa, “Maaf ya Mas aku sepertinya dehidrasi jadi delirium, banyak omong begini.”

Sejam setelah evakuasi, Rizki sudah mandi dan berpakaian rapi ketika aku akhirnya mencapai finish dengan Mas Santosa. Aku sempat mengomel pada panitia di garis finish yang mencatat waktu finishku, dan sempat ingin marah ke mas Wardana, namun saat aku menyalaminya, “Kok gitu sih Mas.. Mas gak tau tadi keadaannya kayak apa..” terpaksa kuakhiri karena air mataku sudah tak terbendung dan aku harus segera berlalu. Aku malu terlihat lemah. Aku merasa cukup sopan masih menyempatkan mendengar pembelaan dirinya, “Maaf ya Mbak, pada saat yang sama di tempat-tempat lain banyak yang butuh bantuan, Mbak.”

***

Malamnya aku sampai di rumah dan kelelahan sehingga tertidur tanpa mencuci muka.

Esoknya dan sampai dua hari berikutnya aku masih meneteskan air mata mengingat kejadian otot yang menjelma sekeras papan kayu itu. Sesekali gondok melihat sebaran foto teman-teman di garis finish, menyesal memilih membuang waktu berjalan ke finish bukannya ikut dievakuasi panitia dengan motor sehingga bisa berfoto dan makan siang. Namun lebih banyak merasa lega telah memutuskan berdiri diam dilewati pelari-pelari demi menunggu Rizki yang belum tentu kesakitan (bisa saja kramnya sudah teratasi dan tidak akan kambuh, kan?), bukannya terus bersama bu Ani sampai finish, dan memilih melangkah dalam diam sepanjang jalan bersama Rizki, bukannya jengah kemudian meninggalkannya.

Demi Tuhan Yang Maha Tahu Segala, mungkin juga jika aku segera jengah karena didiamkan selama sejam saat hanya berdua itu, aku mungkin menyarankan Rizki untuk menyerah saja, sehingga kejadian mengerikan tidak perlu terjadi, sehingga dia selamat dari dehidrasi dan hipoglikemi itu.

Atau, jika aku terus berlari bersama bu Ani dan akhirnya finish lebih dulu, mungkin siapapun yang saat itu bersama Rizki mengambil keputusan yang lebih bijak dibanding aku, sehingga mungkin evakuasi dilakukan lebih dini di pos minum terakhir, atau beberapa pelari berhasil diminta untuk mengangkat Rizki ke tempat yang lebih manusiawi.

Namun Demi Tuhan, kita ini bukan orang yang berandai-andai dengan masa lalu. Semoga ada sedikit pelajaran yang dapat dipetik dari ceritaku ini. Rizki sudah sembuh, jika kalian penasaran. Sangat sehat dan sepertinya sudah bersemangat lari lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Membaca Buku dan GPPH

Baik, aku jabarkan GPPH terlebih dahulu. Dialah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Betul, ini adalah sebuah penyakit, dan tidak, aku tidak mengidapnya, karena diagnosis hanya bisa ditegakkan jika gejala sudah muncul sejak usia tiga tahun. Jika baru muncul sekarang maka bukan GPPH tapi sebut saja pseudo-GPPH.

Beberapa bulan (atau tahun?) terakhir aku kesulitan menyelesaikan buku, baik fiksi maupun non-fiksi (bukan teksbuk faal). Tapi setelah kuingat kembali, ternyata memulainya pun sulit. Di kamar tidurku, tiga dari empat sisi kamar ada buku, baik tumpukan maupun pajangan rapi (atau berdebu). Keluar kamar lebih parah lagi, ortuku menyimpan buku di ruang tamu, ruang tengah, ruang samping, sampai kamar lain, dengan dalih, “maklum lah bapak ibu kan dosen jadi ya bukunya banyak.” Stimulus yang tersebar itu tidak menggugahku untuk mengambil satu pun buku setiap minggu untuk diselesaikan.

Berbeda lagi saat berkunjung ke toko buku. Aku selalu punya ide cemerlang (maksudnya konsumtif), “Wah ini buku bagus, aku harus beli. Aku harus punya. Aku harus baca.” Beruntung jika teman berkunjungku adalah adikku, karena dia akan menyambar (tanpa aku ucapkan kalimat cemerlangku tadi, karena selalu hanya kubatin saja, tapi mungkin binar mataku bisa dia kenali dengan mudah), “yakin mau dibaca? Nanti di rumah ditumpuk aja?” dan aku bisa percaya dia juga akhirnya, atau tetap ngeyel membelinya, “Kubaca kok. Yakin.”

Pernah, sering malah, aku mengamati rak-rak buku di rumah, mengambil beberapa buku dan menaruhnya di kasurku. Tujuanku adalah memberi tugas pada diriku sendiri untuk menyelesaikan beberapa buku dalam waktu tertentu dan waktu terbaik adalah menjelang tidur. Berhasilkah strategi itu? Tidak selalu. Beberapa buku memang tampak sangat menarik, misalnya karena itu buku baru (yang dibeli adikku) dan sangat nge-hits sehingga semua orang sudah membacanya kecuali aku, atau itu buku yang ditulis oleh penulis favoritku. Atau buku tematik seperti buku Ramadhan yang kutumpuk di kasur menjelang Ramadhan. Ada keadaan khusus lain aku bisa mulai membaca: terpaksa menunggu lama seperti saat transit di bandara atau perjalanan jauh dengan kereta (atau pesawat atau bis jika sopirnya menyetir dengan sopan).

Seseorang pernah berkata bahwa tidak ada orang yang tidak suka membaca, orang itu hanya belum menemukan jenis buku/ bacaan yang dia suka. Aku sangat setuju dengan itu. Bahkan komik pun termasuk buku, sehingga orang-orang semacam teman priaku di sekolah dulu yang “tidak tahan membaca novel, tulisan semua, bosan” bukannya tidak suka membaca, hanya memilih komik daripada novel. Sehingga tidak perlu ada debat filosofis dalam tulisan kali ini mengenai pentingnya (atau tidak pentingnya) membaca.

Ketika akhirnya aku berhasil memaksa diriku membuka lembar pertama dan mulai membaca sampai minimal beberapa halaman pertama, aku mulai ingat nikmatnya membaca. Benar juga kata orang bijak bahwa langkah pertama memang yang paling berat. Selanjutnya pasti terasa lebih ringan. Bahkan menyenangkan. Namun tidak seratus persen kejadian membacaku seperti itu. Ada beberapa kali aku berhenti membaca di tengah-tengah buku (atau sepertiga awal dan jarang sekali di bagian akhir). Mungkin sekali itu karena bukunya yang membosankan, tapi aku jarang mengatai suatu buku itu jelek. Aku sangat ingin menjadi penulis (mungkin diam-diam sejak kecil, karena diary-ku sudah ada sejak aku kelas 3 SD, sampai sekarang masih kuusahakan menulis) sehingga aku menghargai dan mengagumi para penulis. Beberapa buku membuatku ingin menyelesaikan tanpa jeda (terpaksa jeda untuk ke toilet atau solat atau makan), tapi sedikit sekali yang membuatku menyesal membelinya, semembosankan apapun.

Pada suatu ketika beberapa bulan (atau tahun) terakhir inilah aku menyimpulkan kesulitanku meneruskan hobi membaca ini adalah karena adanya gangguan pemusatan perhatian. Aku kesulitan fokus sedangkan membaca merupakan kegiatan yang membutuhkan fokus. Beberapa menit membaca membuatku memikirkan hal lain kemudian akhirnya buku kulepas dari tangan dan aku mulai beranjak, bergerak, atau membuka ponsel.

Atau sederhana saja masalahnya, bahwa beginilah generasi muda masa kini pengguna teknologi terutama internet? Beginikah efek samping dari kemajuan peradaban yaitu terlalu banyak distraksi dan manusia-manusianya kesulitan bertahan lama melakukan sesuatu tanpa tergiur hal lain? Apakah angka kejadian GPPH meningkat di era milenium ini? Apakah penderita pseudo-GPPH sepertiku tumbuh seperti lumut di dinding batu di musim hujan?

Jawab aku, buku, jawab. Aku sudah merindukan kalian.

NB. Ternyata salah satu inspirasi untuk menulis (lagi) di blog adalah dengan membaca buku. Saat sedang membaca buku rasanya aku jadi ingin menulis juga, atau aku jadi ingat bahwa ada ide yang harus kusampaikan lewat tulisan. Buku terbaru yang baru selesai kubaca (dalam sehari; termasuk hebat dengan keadaan mental terkiniku) adalah “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Resensinya? Cari sendiri di google ya, satu saja dariku: Itu buku wajib baca. ^_^

Mencari Motto Hidup

Beberapa saat menjelang pemotretan untuk kepentingan acara ulang tahun sekolah asrama itu, aku terpaksa berpikir tentang sebaris kalimat yang mewakiliku atau impianku, untuk selanjutnya dilampirkan di bawah foto wajahku.

Mengapa pula kita harus menyingkat kehidupan dan dunia seisinya dengan sebaris kalimat saja, sementara menurunkan gelombang beta otak saja butuh bermenit-menit meditasi?

Salah satu kandidat yang menarik untuk motto hidup adalah bahwa Tuhan itu Maha Baik dan Maha Pengabul Doa maka berpikirlah yang baik dan berharaplah yang baik saja. Iya, baru saja aku mengalami kejadian kecil. Yang jelas keikhlasanku diuji. Aku dibuat jengkel oleh orang yang baru beberapa menit kukenal. Aku menawarkan bantuan pada teman baru itu, dan dibalas kontan dengan sesuatu yang menjengkelkanku. Beberapa menit hatiku dongkol dan wajahku cemberut (walau hanya tampak oleh orang rumah yang membukakan pintu saat aku pulang) oleh kejadian menjengkelkan itu. Sampai aku ngobrol ringan dengan diriku (ini teknik self-talk yang kupelajari bertahun-tahun. Kurasa aku semakin ahli) untuk mencari tahu mengapa orang rumah tidak mendapat senyumku, mengapa aku kesal saat seharusnya endorfin (zat senang di otak) membanjiri kepalaku di ‘hari olahraga’ ini. Lalu obrolan itu berlanjut tentang bagaimana aku menjadi kesal dan apakah ada pilihan lain selain kesal. Ternyata ada, maka benarlah pepatah “selalu ada pilihan” atau “life is a choice” karena aku bisa mencegah kesal berkepanjangan dengan meluruskan niat. Iya ini bahasanya berat semacam buku pelajaran agama tapi benar juga bahwa kekesalan, kejengkelan, dan kekecewaan muncul karena ada harapan. Jika kita tidak berharap maka kita hanya akan bersyukur dengan yang terjadi di depan. Paham kan, karena tidak ada perbandingan ‘yang akhirnya terjadi’ dengan ‘yang sedari tadi diharapkan terjadi.’ 

Eh tiba-tiba aku ingat dengan seuntai kalimat Tuhan di suatu surat tentang akhir yang selalu lebih baik daripada permulaan. Tapi aku belum membaca tafsir ayat itu.

Obrolan kami ditutup dengan memori jangka pendek yang baik, bahwa aku ingat membatin dalam hati betapa tidak ikhlasnya diriku, betapa niat tulus dan suci itu berat bukan main. Intinya aku mengeluh (mungkin sambil berharap juga) betapa aku belum juga menjadi manusia yang ikhlas. Hanya membatin lho, bukan bersimpuh berbalut mukena di atas sajadah dengan setitik air mata. Ada alasan teknis juga aku tidak bisa bermukena pagi itu. Sorenya aku menyadari doaku terjawab. Aku diajari lagi tentang menjadi ikhlas saat mencoba membantu orang lain. Iya ini ajaranNya yang kesekian kali karena aku tidak kunjung lulus ujian keikhlasan itu. Ajaran itu aku singkat sebagai berikut: setelah aku merasa ingin ikhlas, aku mengalami kejadian yang membuatku menyadari bahwa aku tidak ikhlas sehingga aku tahu bagaimana harus mengoreksinya dan mencegah ketidakikhlasan itu terjadi lagi di lain waktu, bahkan mungkin mengubah ketidakikhlasan menjadi keikhlasan saat itu.

Jelas ya maksudku, bahwa ‘ritual doa’ yang amburadul macam yang kulakukan saja didengar oleh-Nya, dan langsung dijawab segera, bagaimana dengan hati yang lembut dan adab yang baik?

Tuhan Menyebut diriNya sebagai Rabb yang ternyata (iya baru tahu, iya aku mengaku ‘anak ngaji’ tapi sombong belaka) bermakna ‘Pendidik.’ Kita semua manusia (dan makhluk lain, mungkin tumbuhan dan hewan, mungkin alien juga) adalah muridNya dan Dia adalah Sang Guru. Ini berarti bahwa Dia Mengajarkan kita ilmuNya.

Singkat cerita hari ini Rabb Yang Maha Agung Mengajariku tentang keikhlasan. Semoga ingatanku tentang arti ‘ikhlas’ belum luntur. Ikhlas yang juga adalah nama surat di Quran tidak sesederhana ‘tulus’ atau ‘tanpa pamrih’ walau keduanya tercakup juga. Definisi pastinya ada di surat itu sendiri, tentang mengesakan Tuhan. Tidak ada yang lain, tidak ada manusia maupun pujian manusia bahwa aku ini orang baik atau hebat.

Mengapa motto? Kejadian kecil berupa ‘kesadaran sedang diajari/dididik Tuhan’ seperti di atas sering terjadi dalam hidupku (aku yakin dalam hidup semua orang juga). Kandidat motto ini harus aku pikirkan juga teknis penulisannya. Harus ada satu kalimat singkat dan efektif tapi mewakili maknanya yang dalam. Kandidat kedua mungkin dilanjut di posting selanjutnya, karena sungguh membosankan jika aku bercerita lagi di sini.

Oya beberapa kalimat di tulisan ini terangkai setelah membaca buku biografi Rasulullah SAW oleh Tariq Ramadan si cucu Hasan Al Banna, pak dosen yang logat Perancisnya kental saat berbahasa Inggris (oh, detil yang aneh).

Rajinlah Menulis, Nak

Kadang kata-kata berlompatan di benak, kalimat-kalimat terangkai dengan sangat cepat di pikiran saat diri ini bengong, atau saat sedang melakukan suatu aktivitas. Mungkin saya dan sebagian orang saja di dunia yang begini, tapi mungkin juga sebagian besar manusia. Mungkin ini genetik dari nenek dari ibu saya, yang jago bahasa Belanda (karena tuntutan zaman), yang guru SMP, yang penulis lagu, yang tulisannya banyak dan bagus semua (atau ini penilaian subjektif saja). Jika semua kata dan kalimat yang sempat muncul di otak bisa diuraikan dengan sabar di atas kertas atau di dalam ponsel atau di microsoft word di laptop pasti bisa lebih bermanfaat. Yah, mungkin tidak semuanya bermanfaat. Mungkin sebagian self-talk atau ide aneh atau pertanyaan-pertanyaan wagu itu sebaiknya dibuang ke tempat sampah, tapi ada saja yang penting atau baru atau keren sekali. Dari ratusan judul di blog ini, misalnya, masa tidak ada satu pun yang membuat pembacanya “naaaah” atau seruan tergugah lainnya? Ide mengalir deras terutama saat di dalam kendaraan menatap jalanan, menatap manusia, melihat langit… Ide pamit permisi ketika komputer sudah menyala manis di pangkuan. Sampai pernah terpikir untuk selalu mengetikkan ide di ponsel kapanpun terlintas, tapi itu terlaksana hanya sekali dua. Ide itu selalu keren asal diungkapkan agar terdengar oleh orang lain, dan ditindaklanjuti dengan aksi. Demikian tulisan singkat saya. Silakan terus menulis siapapun kamu yang membaca tulisan ini. Karena saat kita mati tidak akan ada yang mengingat kita kecuali dengan warisan kita, baik benda maupun ide (yang harus ditulis dan dipajang di internet, atau dicetak jadi buku) maupun ajaran yang baik. Hidup itu jauh lebih singkat daripada yang kita duga (mungkin astronot sudah menduganya).

Mencari Penjahit Favorit

Sejak kecil aku sering ke penjahit. Entah itu untuk menjahitkan kain seragam lebaran keluarga besar dari pihak ibu (oh iya, setiap tahun tema kostumnya berbeda. Tahun ini kain batik coklat, tahun berikutnya kain batik ungu), atau seragam keluarga yang akan menikah, atau celana olah raga di sekolah menengah dulu (sekolah membagikan kain, kita disuruh menjahitkan sendiri). Akhir-akhir ini pun aku harus menjahitkan kain batik seragam fakultasku untuk seragam hari kamis dan jumat.

Seringkali pemberi layanan jasa menjahit adalah bapak-bapak atau ibu-ibu yang membuka kios seadanya di pinggir jalan, dengan stiker di kaca depannya “TAILOR” atau “MODISTE” dengan nama masing-masing, seperti misalnya DANA TAILOR atau ANAS TAILOR. Ada juga yang namanya butik, yaitu toko yang menjual baju satu model untuk satu buah baju saja, yang artinya eksklusif, tidak ada duanya. Kadang harganya mahal, jauh di atas harga ritel di toko yang bajunya satu model untuk seribu potong, tapi tergantung juga pada pemiliknya. Ada seorang temanku, yang hobi merancang baju gamis muslimah, dia membeli kain, menjahitkannya dengan model yang dia rancang, kemudian menjualnya di butik miliknya sendiri dengan harga murah (ada sepotong gamis di lemariku dari butiknya, murah dan bagus). Ada cara dengan menggunakan jasa perancang baju (fashion designer) yaitu meminta seseorang untuk merancangkan baju untuknya dan membuatkannya sesuai ukuran. Dijamin mahal dan tidak ada duanya. Yang terakhir ini mungkin tidak terjangkau bagi kocek rakyat jelata sepertiku, kecuali baju untuk acara spesial seumur hidup yaitu pernikahan (tapi bagiku masih terlalu mahal, nanti menyewa saja).

Bagi pelanggan penjahit pinggir jalan sepertiku, ada risiko yang harus diambil dalam mempercayai pemberi layanan jasa menjahit ini. Ada kontrak yang berdasarkan kepercayaan, ditambah nego harga, ditambah kesabaran dalam menanti hasil jika penjahitnya ada masalah dalam memenuhi tenggat waktu, atau masalah dalam memenuhi keinginan kita tentang model atau ukuran. Yang terakhir ini penting sekali, kalau kehilangan kesabaran dengan seorang penjahit maka kita akan kapok ke sana dan memulai pencarian penjahit yang cocok, bisa dipercaya, murah, dan sejumlah syarat lainnya.

Pernah aku menggunakan jasa penjahit langganan sejak kecil sampai kira-kira aku kuliah. Bahkan aku sampai merekomendasikan ke teman-temanku saat mereka mulai memakai jilbab dan ingin menjahitkan beberapa gamis. Penjahit ini adalah sepasang suami istri muda yang membuka lapak di rumah sendiri. Suatu ketika aku merasa kecewa akan hasilnya yang tidak sesuai deskripsiku dan gambar model baju yang kubuat. Aku pernah juga mendapat rekomendasi penjahit baju pesta yang letaknya agak jauh dari rumahku. Saat aku ke sana untuk menjahitkan kain untuk seragam walimah sepupuku, sang penjahit bertindak patriarkis dalam diskusi tentang  model baju yang kumau. “Ya jelek lah mbak kalau seperti itu. Mendingan begini… Mendingan begini…” dan aku merasa gondok. “Ini kan baju yang akan kupakai, kenapa kamu komentar tentang modelnya yang menurutmu jelek. Kalau jelek kan risikoku sendiri. Kalau aku akhirnya ikut saranmu dan ternyata jelek, apakah kamu mau tanggung jawab?”  Aku menggerutu dalam hati sebelum akhirnya menyetujui semua sarannya. Saat gaun itu jadi, benarlah aku kecewa karena ‘jatuhnya’ di tubuhku tidak sebaik harapanku, dan aku menyalahkan sarannya yang menyesatkan. Sejak saat itu aku kapok menggunakan penjahit itu.

Aku pernah ikut ibuku menggunakan penjahit langganan ibuku untuk membuat rok. Iya, mahasiswi kedokteran kampusku wajib memakai rok (dari beberapa puluh fakultas kedokteran di Indonesia, yang masih mewajibkan rok untuk mahasiswinya mungkin kurang dari sepuluh). Namun hasilnya aneh, modelnya agak tidak bisa kuterima. Waktu itu kainnya memang bagus, jadi walau modelnya agak membuatku kecewa, tetap kupakai (kotak-kotak warna coklat, dan sempat disangka seorang teman dari Belanda bahwa ini kain khas Indonesia, hehe). Lagi-lagi aku batal menobatkan penjahit itu sebagai penjahit langganan.

Tiga kisah di atas hanya sebagian dari kumpulan kisahku dengan para penjahit. Ada penjahit yang salah mengukur kain sehingga baju yang dibuatnya terlalu kecil untukku. Terlalu sempit. Lupa menambahkan kain furing. Salah mengira tentang tanggal tenggatnya. Lupa menambahkan kantong di rok, dan lain-lain.

Tuntutan yang tinggi dariku mungkin belum akan selesai. Mungkin untuk menghentikan “sebal dengan penjahit ini, dan memutuskan untuk kecewa dan tidak akan menjahitkan ke situ lagi” dan mulai “mencari penjahit lain lagi dan berharap kali ini beres” adalah dengan membayar perancang baju yang mahal dan profesional, yang minimal bergelar sarjana jurusan fashion design. Ada kemungkinan juga semua ini ternyata salahku dalam mengkomunikasikan kebutuhanku. Aku butuh selesai tanggal segini, aku butuh model yang seperti ini (harus dengan gambar, jika perlu gambar tiga dimensi), dan aku harus menyaksikan sendiri si penjahit menulis semua detil yang kumau. Beberapa kasus yang kualami adalah aku kurang ‘memaksa’ penjahitnya untuk menuliskan semua kebutuhanku di buku catatannya. Aku sering menyerah pada “iya mbak, inget kok”. Aku pikir, ternyata penjahit itu mungkin seperti dokter, harus mengingat prinsip “tulis yang dilakukan dan lakukan yang ditulis” untuk menghindari dituntut oleh pasien/pelanggan.

Atau tentu saja aku sebaiknya sabar dan menyadari bahwa para penjahit di pinggir jalan itu hanya orang-orang yang sabar mencari rejeki Tuhan dengan halal, dengan kemampuan seadanya dan sikap terbaik yang bisa mereka tampilkan pada para pelanggannya. Mungkin aku harusnya tidak menuntut banyak karena baju hanyalah baju, bukan definisi pribadi seseorang. Orang yang cantik dan langsing ya akan tetap seperti itu walaupun bajunya jelek atau tidak sesuai keinginannya. Toh yang merasa tidak bagus kan diri sendiri, sementara orang lain mungkin bilang “aih bajunya bagus.” Lagi pula ada yang namanya “meminta tolong si penjahit untuk memperbaiki baju hasilnya sampai sesuai keinginan,” atau “mengkoreksi ukuran sampai pas” atau “memaafkan dan berharap kesalahan yang ini tidak terulang.” Yang terakhir mungkin sulit, karena reaksi emosi sesaat lebih mengarah pada “ah cari yang lain saja” daripada memutuskan bahwa kesalahan manusiawi ini tidak akan terulang.

Dari para penjahit ini aku semakin tahu betapa tidak sabarnya diriku, betapa seringnya aku menuntut orang lain untuk memenuhi keinginanku. Mungkin juga semua itu masih dapat ditoleransi asal aku cukup artikulatif menyampaikan maksudku. Aku harus memastikan efektivitas dan efisiensi komunikasiku untuk mencapai keinginanku.

Sekali lagi, apa yang bisa kuharapkan dari jasa seorang yang tidak profesional, yang tidak belajar ekspertisinya dari bangku formal, dan yang tidak menghargai kontrak kepercayaan setinggi para profesional? Untuk menghindari rasa kecewa sebaiknya aku mulai mempertimbangkan untuk menyewa jasa perancang baju. Bukan penjahit pinggir jalan. Bagaimana jika aku mengeluhkan harga perancang yang mahal? Maka aku harus mulai realistis dengan menerima segala kekurangan para penjahit non profesional itu. Belajar menjahit baju sendiri? Mungkin suatu saat, tidak dalam waktu dekat.

Cerita dari (dekat) China

Beberapa bulan berlalu sejak adikku mengirim pesan via whatsapp untuk mengajakku membeli tiket pesawat murah untuk traveling ala ransel alias hemat ke Hong Kong (ternyata penulisannya dipisah begini!) dan Macau. Inilah hari yang ditunggu-tunggu, yang sudah dipersiapkan (minimal secara mental), yang membuatku berniat belajar barang sedikit saja bahasa China (yang akhirnya kuketahui negara ini menggunakan bahasa Kanton bukan Mandarin). Kisah ini merupakan lanjutan dari posting singkat di sini.

Kami berangkat dari Surabaya dengan pesawat Air Asia ke Hong Kong setelah transit sekitar tiga jam di bandara dekat Kuala Lumpur, Malaysia. Disambut udara dingin dan kabut, Hong Kong kulihat sebagai daerah istimewa China (special district) yang sangat maju dan rapi dengan masyarakatnya yang ramah terhadap turis. Apalagi turis berkerudung macam kami berdua ini, yang kata adikku yang baru beberapa bulan lalu ke Beijing, China, manusia berkerudung adalah barang langka yang selalu menjadi pusat perhatian. Mungkin kami hanya berdua sehingga tidak banyak yang memandangi kami, atau penduduk Hong Kong berpikiran lebih terbuka atau lebih banyak membaca berita.

Demi transpor murah, seperti prinsip kami sejak awal sebagai backpacker, ‘lima hari empat malam’ traveling kami tersisa tiga hari bersih untuk jalan-jalan dan dua hari sisanya (hari pertama dan hari terakhir) untuk perjalanan panjang pergi pulang. Malam itu setiba di Hong Kong kami menaiki bis bandara setelah sebelumnya dimarahi ibu penjual tiketnya karena uang kami terlalu besar (maklum, agen penukar uang di Semarang hanya punya uang ribuan HKD). Seperti yang banyak kubaca sebelum berangkat bahwa hostel tempat kami menginap sangat sempit dan terletak di lantai sekian sebuah mansion, bersama beberapa hostel lainnya, tempat ini cukup nyaman dan berada di pusat kota di pulau Kowloon di daerah bernama Tsim Sha Shui.

Esoknya yang kuhitung sebagai hari pertama, kami memutuskan sarapan mie gelas masing-masing dua bungkus karena banyak blog mengatakan makanan halal di HK termasuk mahal. Tujuan kami hari ini adalah Heritage Trail alias menapak tilas peninggalan jaman kuno di bagian utara pulau Kowloon. Kami menggunakan kereta untuk sampai di sana, beberapa kali dihentikan oleh satu, dua, atau serombongan wanita berjilbab berwajah Jawa untuk ditanya arah dan disapa dalam bahasa Jawa ngoko “sampeyan ngerti iki rak mbak?”, dan sangat menikmati kontrasnya gedung-gedung pencakar langit dengan kuil-kuil khas Asia Timur yang banyak dikunjungi turis lokal untuk berdoa.

Kami juga mengunjungi Pohon Harapan (Wishing Tree) yang umurnya sudah lebih dari seabad, menyaksikan orang-orang asyik melempari ranting-rantingnya dengan buah jeruk palsu dari plastik yang terikat pada selembar kertas yang ditulisi harapan-harapan pelemparnya.

Selalu ada hiburan gratis untuk turis di kota-kota negara maju. Di sini ada Symphony of Lights, suatu pertunjukan kelap-kelip lampu yang menghiasi gedung-gedung di seberang pulau dengan latar musik instrumental yang atraktif. Dengan ramah, suara dengan sumber yang sama dengan latar musiknya menyapa turis, “Welcome to Symphony of Lights,” yang dilanjutkan dengan warna-warni lampu di gedung-gedung pencakar langit yang membentuk kata-kata atau animasi, yang berlangsung selama sekitar sepuluh menit. Ada yang lebih bagus dari ini, tentu saja, seperti pertunjukan Natal di pusat kota Melbourne atau Songs of The Sea-nya Singapura.

Hong Kong terdiri dari empat daerah, yang pertama termasuk dalam semenanjung China, tiga lainnya merupakan tiga pulau yaitu pulau Kowloon, pulau Lantau (tempat bandara berada), dan pulau Hong Kong. Menyeberang ke pulau Hong Kong dengan sebuah feri membutuhkan biaya tiga ribu rupiah. Kami berangkat bersama banyak orang berpakaian rapi untuk bekerja. Kulihat banyak masyarakat Kowloon yang bekerja di pulau Hong Kong, sehingga bisa kubayangkan dua kali sehari mereka menaiki feri menyeberang pulau. Pulau Hong Kong tampak memiliki lebih banyak pencakar langit dan rumah susun, dan ada restoran halal yang menjual makanan China di gedung masjidnya. Seperti masjid di Kowloon, masjid di sini pun memiliki papan pengumuman bertuliskan bahasa Indonesia, mungkin saking banyaknya muslim Indonesia di sini.

Malam hari di hari kedua ini kami sempatkan ke pasar bernama Ladies Market setelah malam sebelumnya kami mengunjungi Temple Market dan membeli oleh-oleh sesedikit mungkin (setelah membuat daftar penerima oleh-oleh dan mengedit sedemikian rupa sehingga tinggal beberapa belas orang yang benar-benar penting saja). Beberapa penjual berani menyapa kami, “Berapa? Berapa?” yang membuatku semakin yakin wajahku sangat Jawa, dan beberapa penjual lainnya menawarkan harga empat kali lipat harga normal, mungkin lima kali (aku yang gagal menawar). Hong Kong, seperti banyak kota besar di dunia, gak ada matinye, bahkan pukul setengah dua belas malam kudapati diriku masih menawar mp3 player menjadi separuh harganya (padahal bukan di pasar melainkan di kios dekat hostel tempat kami menginap). Memang di pagi hari banyak pertokoan yang baru buka setelah pukul sepuluh, tapi kupikir toko yang tutup tengah malam sangat membantu.

Ada yang menarik dari pulau Lantau yang tadi kubilang sebagai pulau tempat bandara berada. Ada suatu daerah bernama Ngong Ping yang memang terpencil di sebuah lembah yang terdiri atas suatu desa mungil yang sengaja dikonservasi untuk tujuan wisata. Di tempat itu berdiri megah Giant Buddha, patung Buddha dalam posisi duduk, yang sangat mirip dengan yang ada di Borobudur. Patung itu sangat besar, dari jarak beberapa kilometer sudah tampak bentuknya, dan untuk menuju ke patungnya harus mendaki beberapa ratus anak tangga. Menuju ke Ngong Ping kami menaiki mobil kabel, semacam kotak yang meluncur di seutas kabel seperti yang ada di Taman Mini Indonesia Indah, sehingga penumpangnya bebas melihat pemandangan di bawah yang hijau dan cantik.

Ngong Ping bagiku sangat mengesankan. Perjalanan menuju ke sana tampaknya sangat jauh dengan pemandangan yang di mana-mana hijau. Sementara masih teringat jelas betapa beberapa hostel sekaligus harus berdesakan di sebuah mansion, betapa penduduknya tinggal di apartemen tipe studio yang harganya selangit. Tidak ada satu pun rumah normal kuamati sejak aku di Hong Kong, seperti rumah orangtuaku yang beberapa ratus meter luasnya, yang bertetangga dengan nyaman, dan yang halamannya luas. Namun demikian, masih banyak bukit-bukit yang hijau dan asri, tanpa sedikit pun terjamah untuk pembangunan real estate atau sekedar perumahan sederhana.

Hari ketiga adalah hari Macau, yang baru belakangan juga kuketahui sebagai salah satu special district dari China selain Hong Kong. Macau menggunakan bahasa Kanton dan Portugis karena memang bekas jajahan Portugis. Sampai sana pun semua papan pengumuman ditulis dalam tiga bahasa yaitu Kanton, Portugis, dan Inggris. Jika dilihat dari peta, jarak pulau Kowloon ke Macau agak jauh, namun dengan kapal bernama Turbojet, perjalanannya hanya sejam dan bebas mabuk laut. Pergi pulang jika dikurs rupiah bisa mencapai setengah juta rupiah, memang mahal, namun kapan lagi ke Macau, kan.

Sampai di Macau kami mengunjungi kasino. Iya, tempat judi itu. Atraksi utama Macau memang kasino. Semacam Las Vegas, Macau sepertinya ingin mengklaim diri sebagai tempat judi nomor satu di dunia. Tidak heran jika banyak bis gratis disediakan oleh pihak kasino untuk transpor dari terminal feri ke pusat-pusat judi itu. Kami sih tinggal naik bis gratis itu, dari kasino kami jalan kaki ke objek-objek wisatanya.

Dalam satu kalimat bagiku Macau adalah tempat wisata buatan. Tidak ada pemandangan alam yang mencengangkan, misalnya, namun ada makanan yang kelezatannya masih terngiang sampai sekarang yaitu Portuguese Egg Tart, tart telur khas Portugis dengan pinggiran pastri dan berisi puding telur karamel (sudah googling resepnya dari dulu tapi belum berani mencoba membuat). Tempat wisata buatan, menurutku, karena dibuat dengan serius dengan investor yang kekayaannya serius juga, berupa gedung-gedung kasino yang luasnya mungkin seluas RT di kampung kami, dengan langit-langit yang dibuat seperti langit biru berawan, dengan kanal-kanal yang dilewati gondola-gondola, lengkap dengan pengemudi bersuara merdu dan berseragam ala penjual sate Madura. Ada masjid di Macau, tentu, yang halaman belakangnya digunakan untuk makam, yang suasananya sepi, jauh dibanding dengan masjid di Kowloon maupun Hong Kong, walau pengumuman berbahasa Indonesianya tidak kalah menarik.

Malam itu aku merasa harus berpikir taktis dalam menghabiskan pagi harinya sebagai hari terakhir di Hong Kong. Aku sangat ingin ke perpus kota namun, tentu saja, baru buka pukul sepuluh pagi sementara pesawat kami berangkat pukul tiga belas. Pelajarannya? Pikirkan perpus kota sebagai tujuan utama kapanpun kamu ke luar negeri. Pagi terakhir itu akhirnya kami habiskan untuk berkeliling taman kota bernama Kowloon Park dan kekagumanku membuat adikku heran, “Kamu pasti seneng banget ke Beijing karena di sana lebih banyak taman, dan taman-tamannya jauh lebih bagus.” Ah, kenapa pula aku tidak coba mengunjungi taman-taman di Surabaya hasil upaya bu Risma sang walikota, ya. Yang menarik perhatianku selain ada ‘hutan’ di tengah kota adalah kegiatan di taman itu. Sebagian besar pengunjungnya pagi itu (dan mungkin sebagian besar hari) adalah lansia. Mereka semua berpakaian training dan melakukan senam dengan gerakan yang lembut dan lambat. “Taichi, tuh,” kata ayahku  ketika kupamerkan foto-fotonya sepulang dari Hong Kong. Iya, mungkin kesadaran akan kesehatan penduduk negara maju sudah sejauh ini; para lansianya rutin ber-taichi di taman kota yang sejuk (dan tentunya lebih luas daripada apartemen mereka) setiap hari, seperti pagi hari Rabu pukul sembilan itu.

Tas kami lebih berat karena beberapa oleh-oleh, namun hati ini sungguh ringan dibanding saat berangkat meninggalkan Semarang (dan juga pekerjaan) beberapa hari lalu. Kepalaku juga lebih berat karena penuh ingus di sinus-sinusnya. Udara awal musim semi memang kurang bersahabat bagi sebagian orang, hehe. Nikmat pemandangan dan pengalaman yang disesap walau sesaat tetap akan menyisakan kenangan bermakna dalam hidup kami. Aku sempat berkata pada adikku untuk menceritakan pada anak cucuku nanti bahwa nenek pernah dolan berdua aja sama nekcil (nenek kecil alias adiknya nenek :p) dan mungkin ini bukan yang terakhir.

Kata orang bijak, karakter orang akan tampak saat kita bepergian jauh dengannya, dengan versi lain yang mengatakan bahwa kamu akan mengenal seseorang dengan bepergian jauh dengannya. Tanpa bertanya pada adikku pun aku jadi bisa bercermin darinya tentang diriku selama lima hari di Asia Timur ini. Bukan hanya itu, aku semakin merasa manusia di dunia ini sama, sama-sama mencari kebahagiaan, sama-sama mengusahakan kehidupan yang terbaik bagi dirinya dan orang-orang sekitarnya. Beberapa kali sehari selama di Hong Kong kami sering mengobrol mengapa di sini begini dan mengapa tidak begitu. Kemudian kami menyetor ide masing-masing dan akhirnya menyetujui yang paling masuk akal. Sering pula kami tidak habis pikir mengapa begini mengapa begitu, namun karena tidak cukup ide, kami sepakat meninggalkan kata ‘mengapa’ dan memilih menerima, ” People. You know.”

Kupikir berkelana jauh semacam ini membuat pikiran kami berdua terbuka, tidak serta-merta menghakimi mengapa seseorang atau suatu negara berlaku begini dan bukan begitu. Mungkin makin banyak seseorang berjalan di muka bumi maka makin sedikit komentarnya dan makin banyak aksinya. Mungkin makin banyak pengalaman, seseorang akan makin penasaran untuk mencari tahu dan bukannya berkomentar dan menghakimi. Seseorang akan makin seperti anak kecil, yang dengan hati riang dan pikiran terbuka, siap tersenyum, tertawa, atau menangis oleh kejutan yang dunia berikan padanya. Setidaknya itulah yang kurasakan setiap pulang dari perjalanan jauh yang isinya tidak jauh dari kejutan-kejutan di luar dugaan. Banyak kejutan yang menyenangkan, seperti keindahan alamnya dan keramahan warganya, kesulitan konyol mencari arah saat tersesat, walau ada yang menyedihkan yang tidak perlu diceritakan karena aibku sudah ditutup rapat oleh-Nya.

Ada pula kalimat bijak yang mengatakan bahwa bahagia itu letaknya di hati, bukan di dalam rumah mewah laksana istana atau di negeri asing seperti Hong Kong atau Macau. Namun kadang kamu menyadari adanya secuil hati yang bersyukur ketika kamu berada jauh dari rumah, atau ketika matamu terantuk pada pemandangan mempesona, pada pengalaman budaya yang jauh berbeda, dan pada persaudaraan yang ikatannya melebihi apapun di dunia ini.

Sambil merindukan kerapian kota dan kemudahan transpor Hong Kong, atau mungkin sekedar kebahagiaan atas pelarian dari rutinitas, hari ini aku berkendara motor ke kantor. Baru siang itu kusadari teriknya mentari di Semarang. Betapa hangat kotaku ini, mungkin suatu hal yang penduduk asli Hong Kong rindukan setiap harinya di musim dingin, gugur, maupun semi.

Yah begitulah cerita singkat (hah, singkat?) sepulang dari Hong Kong dan Macau, dua daerah istimewa milik negeri China. Catatan ini mungkin berguna untuk kubaca beberapa tahun (atau puluh tahun) dari sekarang.

Aku selalu bermimpi bisa berkeliling dunia dengan orang tercinta yaitu suamiku nantinya, berpetualang bersama… Namun siapa sangka kesempatan itu datang sekarang ketika aku bisa bepergian dengan adikku tercinta. Mungkin perjalanan itu sudah dimulai sebelum aku menyadarinya. Mungkin kebahagiaan itu memang dekat, tergantung semangat kita dalam memupuk bagian kecil dari hati yang penuh syukur itu, agar terus tumbuh besar dengan akarnya yang menghujam dalam dan rantingnya yang tinggi melangit. Feel blessed for who you are and what you have, and feel enriched with what you experience, 🙂

 

Adikku dan aku di latar suatu Temple di Kowloon, HK.
Adikku dan aku di pelataran suatu kuil di Kowloon, Hong Kong.

Suatu Pagi saat Sarapan

Pagi itu kuputuskan untuk memulai kembali regime protein whey-ku untuk sarapan. Protein whey sebagai asam amino, bentuk paling sederhana dari protein, dikabarkan mudah diserap dan meningkatkan massa otot sehingga melangsingkan. Beberapa tahun terakhir ini aku cukup rajin mendisiplinkan diri untuk minum protein yang cita rasanya traumatik itu. Kemudian akhir-akhir ini aku lupa, atau sekedar malas.

Ritualnya sederhana saja. Botol plastik dengan merk asal Jerman kuisi dengan sesendok penuh protein bubuk itu, kemudian kutambahkan air dingin sekitar tiga perempatnya. Aku duduk manis di ruang makan sambil mengocok botol yang sudah kututup rapat itu. Dikocok, bukan diaduk, sehingga nama populernya memang protein shake.

Aku tidak memakai alat khusus bernama shaker yang ada “roda” di dekat tutupnya sehingga aku perlu mengocok cukup kuat dan berkali-kali sebelum akhirnya seluruh bubuk terlarut. Berapa lama aku harus mengocoknya? Bagaimana aku tahu bahwa semua bubuknya sudah terlarut? Malas sekali kalau aku harus mencoba meminumnya hanya untuk mendapati bahwa belum semua bubuknya terlarut, bahwa ada gumpalan eneg yang terpaksa kukunyah. Akhirnya akal sehat sepersekian detikku memutuskan bahwa salah satu indikator sempurnanya larutan itu adalah tidak adanya endapan di pantat botol. Nah, untuk memastikan tidak ada endapan di pantat botolnya, aku mengocok dalam posisi terbalik sehingga pantat botol itulah yang selalu terlihat. Ketika pantat sudah bersih, aku bisa berhenti mengocok. Larutannya sudah aman untuk diminum. 

Dalam proses pengocokan itu pikiranku melayang ke pertanyaanku tentang kehidupan. Beginikah seharusnya menjalani hidup, memastikan terpenuhinya indikator yang mudah dipantau maka semuanya akan baik-baik saja?

Apakah ternyata tidak sesulit itu dalam menjalani kehidupan yang baik, yaitu hanya dengan memastikan kita melakukan hal-hal yang baik dengan benar?

Apakah dengan melakukan hal baik (bukan hal jahat) dengan benar (bukan dengan cara yang salah) akan memperbaiki diri ini dan mungkin memperbaiki keadaan orang lain atau dunia secara luas?

Seperti halnya aku yang hanya memastikan bahwa tidak ada endapan di pantat botol maka otomatis rasanya akan lebih enak (daripada jika tidak tercampur rata, maksudku), larutannya lebih rata tercampur, tidak ada gumpalan bubuk protein, sehingga mudah dicerna dan bermanfaat bagi tubuhku?

Ah, pertanyaan. Siapakah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu?

Setelah kurang dari sepuluh kali guncangan botol yang kubuat, sudah tak terlihat lagi endapannya. Kubuka tutup botol itu. Buih terbentuk di permukaan. Tampak seperti milk shake. Atau teh tarik. Kubayangkan aku minum milk shake. Glek, glek, glek, beberapa detik saja dibutuhkan untuk meminumnya sampai tandas, dan selesai sudah sarapanku. Ya sih, beberapa jam kemudian ususku akan mengeluarkan bunyi peristaltiknya. Ah itu urusan lain yang harus dipikirkan.

Semoga segera langsing. Aamiin!

Oh, dan semoga tidak terlalu ribet menjalani kehidupan. Santai saja, prioritaskan hal baik saja. Semangat!

Another Language-Related Attempt

Hey there. It has been a while since my last post in English.

I have an only sister who is gorgeous and happens to be my best friend. She loves to travel, is married to a righteous man, and only a year younger than me (13 months younger, to be exact).

One day she texted me (yes she lives 90 km from home) asking me to join her to travel abroad. Whoaaa I said yes immediately after saying “maybe by then I will ask my husband’s permission but I would love to,” knowing that the date of travel was 6 months from that day and I dreamed of already having a husband by next year (aamiin Yaa Rab,  or whatever is best for me).

My sister has been to several countries while I went only to Aussie and Changi in Singapore to transfer a flight (if that counts). At that time she was discussing about going to a country in the east Asia. I didn’t care, I wanted to go with her. She would be a perfect travel partner for me. We have been traveling just the two of us, for sure. Just like a saying, “it is not about the journey, but the company.” By the way, this might also apply to the idea of soulmates.

Now, east Asia? They don’t speak English unless it is Hongkong. Well, we intended to go to Macau, which is in Hongkong. Haha so what was the problem? Exactly, nothing. However, we agreed on that day to plan to learn a little Chinese so we can ask few things to the locals.

Having heard that Chinese is one the hardest languages in the world to learn (I ever heard Arabic and Danish are among the hardest), I was not so enthusiastic comparing to the time I chose to learn French or Dutch (though until now I still don’t speak any of those languages). But the point is that learning language is always fun to me. And I just found out lately after being her sister for 27+ years that we might share the interest of learning languages.

I said yes yes yes let’s attempt to take a Chinese class before the travel date which is few months from the time this post is written. I know myself very well that this plan might remain a plan, rotten in the corner as an utopic idea. Hahaha. But again, I am excited, and so is my sister.

Ni Hau Ma?

Pintu Gerbang bukan Masalah

Aku belajar bahwa selalu ada pilihan untuk membiarkan pintu gerbang depan rumah terbuka. Dengan terbukanya pintu itu, sesiapa yang lewat boleh saja masuk dan langsung mengetuk pintu rumah. Dengan pintu terbuka, semua orang yang sedang lewat depan rumah atau sengaja menuju ke rumah untuk bertamu akan merasa disambut. Dengan kata lain, orang yang tiba di depan rumah tidak akan merasa kesulitan untuk segera masuk dan mengetuk pintu rumah.

Sebaliknya, ada pula pilihan untuk selalu menutup pintu gerbang. Bolehlah keamanan menjadi alasan. Boleh pula demi mencegah kucing atau hewan lain mampir ke halaman rumah. Apapun alasannya, pintu gerbang yang tertutup membuat orang yang ingin bertamu perlu mencari tombol bel di dekat gerbang, atau mencari kait gerbangnya untuk dibuka sendiri, atau mengetuk besi agar terdengar oleh pemilik rumah. Pintu gerbang yang tertutup mungkin membuat orang yang kebetulan lewat di depan rumah berpikir bahwa penghuni rumahnya sedang pergi. Mungkin pula orang yang kebetulan lewat dan ingin mampir jadi mengurungkan niatnya karena harus membayangkan kerepotan melewati pintu gerbang tertutup itu sebelum harus mengetuk pintu rumahnya. Namun bagi orang yang khusus mendatangi rumah itu untuk bertamu, pintu gerbang yang tertutup tidak akan mengurungkan niatnya untuk bertamu. Dia akan melewati gerbang itu baik dengan cara memencet tombol, membukanya sendiri setelah mengecek keadaannya yang tidak digembok, atau mengetuk sampai dibukakan.

Jadi pilihan itu ada di tanganmu, untuk membiarkan pintu gerbang terbuka, atau menutupnya dan hanya membuka saat ada orang yang minta dibukakan.

Hidup itu pilihan. Yang tidak bisa dipilih itu menjalani konsekuensinya. Semua pilihan datang sepaket dengan konsekuensinya. Pintu gerbang terbuka punya risiko sendiri, keuntungannya pun banyak. Pintu gerbang tertutup berisiko menyulitkan tapi cukup aman bagi sebagian orang.

Mungkin sementara ini aku akan menutup kembali pintu gerbangku yang beberapa waktu ini sengaja kubuka. Mungkin aku akan menutupnya dalam waktu lama. Mungkin aku harus memasang bel di situ agar tidak perlu melewatkan tamu yang kesulitan membuka sendiri gerbangku itu.

Ditulis tanpa air mata, setelah patah hati pada seorang bermata cemerlang (jaga-jaga jika aku lupa ini tentang siapa).