Sejenak Mesotonik

Kadang sulit untuk menulis bukan tentang perasaanku, atau hal-hal sepele yang terjadi di sekitarku. Jadi memang sebagian besar tulisan di blog ini adalah curhat sang penulis.

Anyways.. Aku ingat kuliah tentang psikologi (entahlah jaman kapan itu, rasanya sih aku kuliah kedokteran, tapi kok ada secuil tentang psikologi ya haha), satu dari banyak sekali pembagian tipe kepribadian adalah berdasarkan bagian tubuhnya yang dominan.

Manusia itu dibagi tiga, yaitu serebrotonik, mesotonik, dan viserotonik. Yang pertama adalah orang-orang yang sangat suka dan sering berpikir, yang kedua adalah orang yang otot-ototnya aktif seperti olahragawan, dan terakhir adalah orang-orang perasa, yang hobi merasakan.

Beberapa minggu terakhir aku sedang merasa terlalu peka, sehingga mungkin aku sebenarnya tergolong viserotonik. Aku terlalu banyak menangis tanpa alasan yang jelas (sehingga jadilah tulisan “sobriety lane” itu), dan sering sedih tanpa berniat menghibur diri (kecuali makan es krim coklat, aku akan selalu mau). 

Kebetulan pula bulan ini adalah musim kompetisi lari terjauh dalam sebulan oleh ikatan alumni SMA keren tercinta itu, sehingga setidaknya aku harus bersemangat berkontribusi seperti tahun lalu. Saat berlari tentu aku berubah menjadi manusia mesotonik karena otot-otot tungkai sangat kubutuhkan, selain juga otot-otot pernapasanku.

Selama atau setelah lari itu aku sejenak melupakan air mataku dan kesedihanku. Rasanya para ototku yang penat saat dan pascalari berbisik pada organ-organ dalamku, “Berikan nyerinya pada kami, sekali ini saja biarkan kami yang menanggung deritanya.” 

Tiba-tiba saja saat itu aku lalu menyimpulkan, bahwa seorang individu terdiri atas sebagian serebrotonik, sebagiannya mesotonik, dan sisanya viserotonik. Kadar ketiganya mungkin fluktuatif dari masa ke masa, dan saat salah satunya terlalu timpang, mungkin melakukan kegiatan lain yang sangat berbeda bisa menyeimbangkannya.

Aku pun sempat terlalu sibuk mengurusi pekerjaan kantor (menurutku pekerjaanku sungguh menyenangkan, dan “aku banget,” jadi aku hampir selalu menikmatinya) saat episode sedih itu. Aku dipaksa berpikir keras dan cukup lama mengurusi sel kanker hadiah dari Profesor baik hati dari negeri jiran. Paham kan, aku sedang menjadi sangat serebrotonik ketika berpikir itu, sehingga lagi-lagi kelenjar lakrimalku tidak mendapat perhatian khusus. Singkatnya, saat itu aku tidak sesedih sebelumnya.

Aku kemudian menyimpulkan lagi, ketika terlalu sedih atau merasakan apapun yang negatif, penting juga untuk menggiatkan bagian tubuh lain. Contohnya otot-otot, dengan berolahraga (agar sejenak mesotonik), atau otak, dengan mengerjakan demanding task atau menulis proposal penelitian (agar sejenak serebrotonik). Dengan demikian, tubuh dan pribadi kita akan seimbang, dan kebahagiaan bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. 🙂